Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya kadar gas rumah kaca yang menyebabkan peningkatan suhu di permukaan bumi, dan perubahan pola curah hujan. Perubahan tersebut mengakibatkan jumlah air di permukaan bumi mengalami penurunan. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya bencana kekeringan yang melanda di sebagian wilayah besar permukaan bumi.
Topik ini merupakan hal yang diangkat pada artikel dosen dan mahasiswa S2 Teknik Sipil Universitas Jember (Dr. Ir. Gusfan Halik, ST., MT., Victorius Setiaji Putra, ST., MT., dan Retno U. A. W., Ph.D) yang berjudul “Assessment of climate change impact on drought disaster in Sampean Baru watershed, East Java, Indonesia based on IPCC-AR5”. Artikel ini terbit pada sebuah jurnal Q1 “Natural Hazards” pada Bulan Februari 2022 yang dapat diakses pada tautan berikut: https://link.springer.com/article/10.1007/s11069-022-05245-7
Artikel tersebut mengangkat mengenai bencana kekeringan yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai Sampean Baru, Bondowoso, Jawa Timur. Berdasarkan data BNPB, DAS tersebut merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerawanan bencana kekeringan yang sangat tinggi. Dampak kekeringan yang dialami wilayah ini tidaklah kecil. Seluas 105 hektar lahan pertanian mengalami gagal panen pada tahun 2005.
Dampak bencana kekeringan dapat dikurangi dengan cara melakukan prediksi bencana kekeringan jangka panjang. Solusi ini dapat membantu instansi pengelolaan sumber daya air dan mitigasi bencana kekeringan di masa yang akan datang. Prediksi ini dapat dilakukan dengan cara mengukur indeks kekeringan, salah satunya adalah SRI (Standardized Runoff Index).
Tesis yang ditulis oleh Victorius Setiaji Putra, ST., MT. memaparkan prediksi kerentanan bencana kekeringan dengan cara menganalisis perubahan pola hujan menggunakan data GCM CSIRO 3.6.0 AR-5, sehingga dapat menghitung perubahan debit aliran menggunakan software ArcSWAT. Nilai debit aliran digunakan untuk menghitung SRI sebagai penentu tingkat kekeringan di wilayah DAS Sampean Baru.
Plotting yang dilakukan dan hasil dari downscaling CSIRO menunjukkan pola curah hujan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Hasil ini menjadi dasar melakukan prediksi curah hujan selama 30 tahun kedepan (2019-2050) menggunakan metode ANN. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa curah hujan tertinggi di Bulan Januari dan terendah di Bulan Agustus. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis SRI dengan skala waktu 6 bulan (SRI-6).
Adapun pemetaan lokasi rawan kekeringan ditunjukan pada Gambar 2.
Hasil prediksi tersebut akurat berdasarkan data BPBD mengenai distribusi air bersih pada tahun 2018 di beberapa desa yang termasuk dalam wilayah yang terdampak bencana kekeringan, yaitu: Wringin, Jatisari, Pameton, dan Gayam. Sehingga pada analisis berikutnya dapat disimpulkan bahwa analisis yang telah dilakukan bisa dikatakan akurat. Prediksi pada tahun 2019-2050 dapat dilihat pada gambar 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2028, 2031, 2046, dan 2047 akan terjadi kekeringan ekstrem di beberapa wilayah. Wilayah tersebut adalah Wringin, Tegalampel, Klabang, Sukosari, Tlogosari, Sumberjambe, Pujer, Maesan, Grujugan, Pakem, Curahdami, Prajekan, Cerme, Tapen, dan Tamanan.
Salah satu kesimpulan dari penelitian ini ialah bahwa ANN yang digunakan untuk melakukan simulasi curah hujan bulanan menggunakan NCEP/NCAR CSIRO Mk 3.6.0 yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan hasil yang baik. ANN juga dipergunakan untuk melakukan prediksi curah hujan bulanan pada setiap RCP. Hasil dari downscaling menunjukkan bahwa trend prediksi curah hujan bulanan dengan RCP 6.0 paling dekat dengan curah hujan observasi dibandingkan jenis RCP lainnya.
Asesmen dampak dari perubahan iklim terhadap kekeringan menggunakan GCM berhasil menunjukkan kekeringan yang diprediksi pada DAS Sampean Baru dengan SRI-6. Peta kekeringan pada 2018 menunjukkan korelasi yang baik dengan data distribusi air bersih pada tahun yang sama. Jumlah kejadian kekeringan yang ekstrim semakin meningkat seiring dengan meningkatnya RCP sehingga kekeringan yang paling ekstrim ditunjukkan pada RCP 8.5 seperti pada Gambar 3.
Meningkatnya presentase daerah yang mengalami kekeringan ekstrem merupakan hal yang perlu menjadi perhatian banyak pihak. Hal ini terjadi karena meningkatnya kadar gas rumah kaca sehingga mempengaruhi perubahan pola hujan. Dampak yang signifikan dalam jangka 30 tahun ke depan pada penelitian ini menjadi bukti pentingnya kajian lebih lanjut mengenai perubahan iklim. Hal tersebut menjadi bentuk upaya kalangan ilmuwan dalam membantu meningkatkan pengelolaan sumber daya air.
Pewarta: Art dan Retno