Topik mengenai perubahan iklim menjadi topik yang hangat untuk dibahas saat ini. Hal tersebut terjadi karena semakin maraknya bencana alam dalam beberapa tahun terakhir.
Pada hari sabtu 28 Mei 2022. Dalam acara ini, bapak Dr. Ir. Gusfan Halik, ST., MT., IPM., PU-SDA selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil Universitas Jember menjadi narasumber dengan topik “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Bencana Kekeringan” dan bapak Ir. Moh. Budi hartono, S.T., M.T., IPM. selaku Sekretaris PII Cabang Jember bertindak sebagai moderator.
Acara diawali dengan pembukaan MC dan lagu Indonesia Raya serta Hymne PII, lalu dilanjutkan dengan sambutan – sambutan. Memasuki acara inti, Ketua Jurusan Teknik Sipil Universitas Jember membuka pemaparannya mengenai trend pemanasan global selama 100 tahun terakhir Berdasarkan data IPCC AR5 hampir seluruh wilayah di dunia mengalami kenaikan temperatur, baik di laut maupun di daratan. Untuk wilayah Asia, suhu cenderung naik dari tahun 1850-2010. Salah satu penyebab perubahan iklim adalah emisi gas. Skenario perubahan iklim ekstrim dari IPCC dengan pertimbangan gas emisi yang tinggi menunjukkan peningkatan rerata suhu dari 2000-2100 adalah 3,7 derajat. Dari sini kita diperingatkan untuk memperhatikan perubahan iklim.
Trend Pemanasan Global Menurut IPCCIPCC membuat beberapa skenario perubahan iklim dari paling rendah sampai paling ekstrem untuk mempredikisi kenaikan temperatur sampai tahun 2100. Diperoleh rerata untuk RCP 4,5 (naik 1.8 °C) ; RCP 6.0 (naik 2.2 °C) dan RCP 8.5 (naik 3.7 °C). Hal tersebut dapat terjadi akibat dampak dari emisi gas rumah kaca yang nantinya kenaikan temperatur ini akan mempengaruhi siklus hidrologi.
Perubahan iklim bersifat multibencana, maka dari itu IPCC dengan negara – negara yang bermitra di dalamnya mengembangkan model iklim (GMC) yang merupakan interaksi atmosfer, lautan, biosfer, daratan dan komponen lainnya yang dinyatakan dalam suatu persamaan 3D. Akurasi GCM dengan observasi ternyata memiliki kesamaan pola, namun skala yang digunakan dalam GCM merupakan skala global sehingga resolusinya akan menjadi rendah. Untuk itu diperlukan teknik Downscaling agar dapat digunakan dalam skala mikro (skala DAS) dengan pendekatan statis baik secara konvensional maupun berbasis kecerdasan buatan (AI).
Jenis downscaling ada dua yaitu dinamik dan statis. Downscaling metode statistik menggunakan metode AI (Artificial Intelligence) yaitu ANN. Data atmosfer merupakan salah satu jenis data yang bersifat tidak konsisten dan kompleks. Hal tersebut dikarenakan ada pengaruh radioaktif sehingga data perlu diolah. Pengolahan ini menggunakan metode wavelet. “Pemodelan yang dilakukan merupakan penggabungan dari processing data, ANN dan wavelet atau disebut dengan WNN (Wavelet Neural Network).” Jelas Bapak Dr. Ir. Gusfan Halik, ST., MT., IPM. Output dari teknik Downscaling yaitu data hujan bulanan yang kemudian ditransformasi menggunakan model SWAT agar menjadi data debit.
Bencana kekeringan hidrologi dianalisis menggunakan Strandardized Runoff Index (SRI) dengan nilai index negatif. Dari hasil prediksi pada DAS Sampean diperoleh kekeringan ekstrem akan terjadi pada tahun 2019, 2028, dan 2031 dengan masing – masing skenario RCP 4.5, RCP 6.0, dan RCP 8.5. Hasil prediksi curah hujan di DAS Sampean menggunakan berbagai skenario perubahan iklim menunjukkan trend yang sama dengan observasi. Hal ini menunjukkan bahwa output GCM dengan teknik Downscaling WNN dapat diaplikasikan untuk memprediksi hujan pada masa yang akan datang.
Assasement kekeringan dilakukan dengan melihat indeks kekeringan. Indeks kekeringan terdiri dari SPI (Standardized Precipitation Index) dan SRI (Standardized Run-off Index). Penelitian yang dilakukan Bapak Dr. Ir. Gusfan Halik, ST., MT., IPM. menggunakan indeks SRI sehingga data input berupa debit aliran. Nilai kategori SRI dimulai dari 0 sampai lebih rendah dari nilai -2. Data yang diperlukan untuk meneliti dampak perubahan iklim terhadap kekeringan adalah data satelit NOAA dan GPM CSIRO yang terdiri dari kelembapan relatif, kelembatan spesifik, hujan, dan kecepatan angin. Selain itu juga diperlukan peta batas lokasi penelitian. Proses downscalling menghasilkan data berupa hujan bulanan. Namun karena indeks kekeringan yang digunakan adalah SRI maka perlu dilakukan transformasi data menggunakan software SWAT.
Penelitian bapak Gusfan merupakan prediksi long term dengan skenario yang terdiri dari RCP 4.5, RCP 6, dan RCP 8.5. Proses kalibrasi dan validasi dilakukan dengan membandingkan data running dengan data observasi yang tersedia. Berdasarkan proses tersebut metode WNN dan transformasi data menggunakan SWAT dapat digunakan untuk melakukan prediksi dampak perubahan iklim terhadap bencana kekeringan. Hasil penelitian menunjukkan SRI pada RCP 4.5 menunjukkan bahwa kekeringan terparah ada di tahun 2019. Untuk RCP 6.0 di tahun 2028. Analisis menggunakan RCP 8.5 menunjukkan kekeringan terparah di 2028, 2031, 2046, 2047.
Kita mengetahui salah satu penyebab peningkatan bencana kekeringan adalah meningkatnya kandungan gas emisi sehingga perlu dilakukan pengurangan kandungan gas emisi. Hal tersebut merupakan salah satu gerakan pengurangan resiko bencana. Gerakan ini merupakan gerakan kita semua, bukan hanya institusi. Karena indikator perubahan RCP itu adalah kenaikan pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, emisi dan sebagainya.
Pemaparan dilanjutkan oleh bapak Dr. Ir. Satryo Budi Utomo, S.T., M.T. selaku Kaprodi D4 Teknologi Rekayasa Elektronika Universitas Jember dengan judul “Pengembangan Teknologi Early Warning System”. Beliau mengulas sedikit mengenai pengembangan beberapa produk EWS yang telah diproduksi pada tahun 2014 dan 2015 seperti EWS banjir, puting beliung, dan longsor serta beberpa produk EWS dengan fitur SMS, WEB dan Video dengan berbasis IoT.
Sebagai penutup, acara diakhiri dengan sesi tanya jawab kepada kedua narasumber lalu dilanjutkan dengan menyanyikan Hymne PII dan penutupan oleh MC.